PERSPEKTIF: Dari Inovasi ke Registrasi: Ketika Artificial Intelligence Menjadi Aset Geopolitik

by | May 8, 2025 | Perspektif | 0 comments

(Sigit Budi Darmawan, S.T., M.B.A.)*

Di era ini, algoritma tak hanya mengatur bisnis, kesehatan, dan kebijakan, tetapi juga membentuk medan perang baru: ruang sidang paten. Di sinilah Artificial Intelligence (AI) berubah menjadi senjata strategis. Paten AI kini menjadi tolok ukur kekuatan negara.

Menurut World Intellectual Property Organization (WIPO) 2024, China telah mecatatkan lebih dari 38.000 paten AI generatif sepanjang 2014–2023, enam kali lipat dari AS yang hanya mencatat 6.276. Tren ini mengubah peta dominasi. Pada 2010, AS menguasai 40% paten AI global, kini tinggal 14,2%. Sementara China melonjak ke 69,7%, dengan Jepang, Korea Selatan, dan Eropa turut mengalami penurunan.

Namun, ini bukan sekadar soal jumlah. Tetapi soal strategi. China mendorong skala dan penetrasi lokal melalui universitas, BUMN, dan kebijakan nasional. AS mengandalkan kualitas, dengan inovasi bertumpu pada perusahaan swasta dan ekosistem akademik.

China membangun infrastruktur digital lebih awal, menginvestasikan besar-besaran di R&D, dan menjadikan AI bagian dari strategi nasional. Strategi military-civil fusion memungkinkan teknologi sipil langsung digunakan untuk pertahanan. Keunggulan China didorong oleh lima pilar: investasi R&D yang mencapai 2,4% PDB; ketersediaan data dari lebih dari 1 miliar pengguna internet; regulasi paten yang proaktif; proteksionisme teknologi paten untuk domestik, serta kebijakan nasional yang memprioritaskan AI sebagai instrumen keamanan dan pertumbuhan ekonomi.

Meski tertinggal dalam jumlah, AS unggul dalam kualitas. Paten dari AS dikutip rata-rata 13 kali, jauh di atas China yang hanya 1,9 kali (RDWorld, 2024). Belanja R&D nasional AS mencapai US$940 miliar pada 2023, diperkirakan menembus US$1 triliun tahun ini (NSF, 2024), mayoritas dari sektor industri.

AS membangun kekuatan lewat inovasi dari OpenAI, Microsoft, hingga Google. Ekosistem kampus seperti MIT dan Stanford, venture capital, serta budaya eksperimen dan open source, memperkuat dominasi. Namun, pembatasan ekspor chip dan teknologi AI ke China menandai pergeseran, dari kolaborasi menuju persaingan terbuka. Paten bukan lagi sekadar perlindungan ide, melainkan alat kontrol global. Larangan ekspor chip AI ke China membuktikan bahwa paten menjadi senjata diplomatik di era baru ini.

Di luar AS dan China, negara seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman, Prancis, dan India bangkit. Jepang dan Korea fokus pada robotika; Eropa mendorong human-centric AI; India mencatat lonjakan paten AI sebesar 56% per tahun (Patent Lawyer Magazine, 2024), dengan fokus pada kota pintar. Di ASEAN, Singapura memimpin dengan lebih dari 660 paten AI hingga 2020. Indonesia baru mencatat sekitar 400 paten hingga awal 2024 (CSET, 2024).

Meski potensinya besar, Indonesia belum masuk radar utama. Startup seperti Nodeflux dan Nalagenetics mulai mengembangkan teknologi AI di bidang keamanan dan kesehatan. Namun, lemahnya perlindungan kekayaan intelektual, rendahnya kesadaran paten, dan belanja R&D yang hanya 0,2–0,3% PDB (World Bank, 2024) menjadi tantangan serius.

Indonesia perlu membangun hub inovasi nasional, mempercepat reformasi sistem paten, meningkatkan edukasi publik, menyusun roadmap AI nasional, dan mengembangkan talenta AI agar tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pencipta teknologi.

Kompetisi AI ke depan tak hanya soal teknologi, melainkan juga soal regulasi, etika, dan geopolitik. Generative AI kini diadopsi lebih dari 78% perusahaan global (McKinsey, 2024). Fokus bergeser ke model yang lebih ringan, efisien, dan berbasis open source, seperti LLaMA dan Mistral.

AI semakin merambah sektor strategis seperti energi, militer, pendidikan, dan keuangan. Tren baru AI otonom dan multimodal membawa teknologi dari prediksi ke eksekusi nyata. Chip AI dan edge computing menjadi arena baru perebutan kekuasaan global. Namun, kekuatan besar ini butuh tata kelola yang kuat. Uni Eropa dengan AI Act dan AS dengan Executive Order menandai bahwa kepercayaan dan standar global kini menjadi bagian penting dari persaingan.

Setiap lompatan peradaban ditandai keberanian mencipta dan kesadaran melindungi. AI adalah lompatan zaman ini—cermin dari arah, kepemimpinan, dan imajinasi masa depan. AI bukan alat netral. Ia bisa membebaskan atau menguasai. Bangsa yang ingin bertahan harus menjadi pencipta dan pelindung inovasi, bukan sekadar pengguna.

*Sigit Budi Darmawan, S.T., M.B.A. adalah anggota Dewan Pengawas KKA GAMA

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ARTIKEL

Perspektif Lainnya

Perspektif: Menjaga Kerohanian Tetap Segar di Tengah Kebisingan Dunia

Perspektif: Menjaga Kerohanian Tetap Segar di Tengah Kebisingan Dunia

(Naomi Fortuna Kaber, ST., MCM.) Pengantar Dulu waktu mahasiswa, mungkin banyak alumni yang masih senang dengan kegiatan membaca Alkitab, berdoa, persekutuan dan pelayanan. Namun ketika memasuki dunia alumni, prioritas mereka bisa berubah. Tetapi selalu ada cara Tuhan...

Perspektif: Ketika Olok-olok Menjadi Luka di Tengah Kemiskinan

Perspektif: Ketika Olok-olok Menjadi Luka di Tengah Kemiskinan

(Sigit B. Darmawan)* Seorang anak kecil duduk di trotoar, memeluk perut kosongnya sambil menatap ibunya yang berjualan di pinggir jalan. Sang ibu menjual sebungkus nasi atau segelas teh manis. Pemandangan ini mungkin terlalu biasa bagi kita.  Tetapi di balik itu...

Perspektif: Mengimplementasikan Nilai-nilai Kristiani di Dunia Kerja

Perspektif: Mengimplementasikan Nilai-nilai Kristiani di Dunia Kerja

(Oleh: Ir. Otniel Sintoro, M.M) Di dunia Barat, semakin banyak perusahaan yang mengintegrasikan spiritualitas ke dalam marketplace (dunia kerja). Riset bisnis menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara spiritualitas seorang karyawan dengan komitmen organisasi,...