(Sigit B. Darmawan)*
Seorang anak kecil duduk di trotoar, memeluk perut kosongnya sambil menatap ibunya yang berjualan di pinggir jalan. Sang ibu menjual sebungkus nasi atau segelas teh manis. Pemandangan ini mungkin terlalu biasa bagi kita. Tetapi di balik itu ada perjuangan yang tak pernah kita rasakan. Lalu datanglah kita, yang hidup lebih nyaman, entah sebagai pejabat, tokoh, atau siapa saja yang merasa lebih tinggi derajatnya. Dengan santai kita melempar candaan. Seperti yang terjadi beberapa hari lalu, ketika seorang utusan khusus Presiden mengolok-olok penjual es teh. “Es tehmu masih banyak gak? Masih? Ya sana jual g*bl*k !” katanya, sambil tertawa. Penjual es teh itu hanya terdiam penuh kelu. Mungkin baginya hanya candaan, tetapi bagi penjual es teh, itu adalah sebuah tamparan. Tamparan terhadap jerih payah, perjuangan, bahkan harga dirinya.
Ada apa sebenarnya dengan kita? Mengapa mudah sekali melontarkan olok-olok terhadap mereka yang berjuang? Mungkin karena kita sudah terlalu jauh dari kenyataan. Duduk di ruangan ber-AC, membaca laporan statistik sambil menyeruput kopi mahal, tanpa pernah benar-benar melihat wajah mereka yang menjadi angka dalam laporan itu.
Pernyataan seperti ini bukan hal baru. Ada kasus seorang pejabat yang menyebut, “Kalau miskin, ya jangan banyak anak.” Atau dengan enteng bilang, “Orang miskin itu mudah diatur.”
Kata-kata seperti itu menunjukkan betapa rendahnya kepekaan kita terhadap penderitaan orang lain. Padahal, kemiskinan bukanlah pilihan. Ia sering kali lahir dari sistem yang tak adil, dari kebijakan yang lebih memihak kepada mereka yang sudah kaya.
Robert Walker, profesor kebijakan sosial Univesitas Oxford, dalam bukunya “The Shame of Poverty”(2014), menulis bahwa stigma adalah luka yang lebih dalam daripada kemiskinan itu sendiri.
Bagi mereka yang miskin, bukan hanya perut yang lapar, tetapi juga hati yang hancur karena dihina. Setiap komentar merendahkan, setiap candaan yang tak pada tempatnya, adalah bentuk kekerasan yang sering kali tak kita sadari. Senada dengan Walker, buku “Evicted: Poverty and Profit in the American City”(2016) karya Matthew Desmond, sosiolog pemenang Pulitzer, mengingatkan kita bahwa kemiskinan bukan sekadar persoalan tidak punya uang, tetapi tentang sistem yang memeras mereka yang paling lemah.
Ketika seorang pedagang kecil menjual eh teh dengan harga yang dianggap mahal, mungkin itu karena biaya sewa kios yang naik atau bahan baku yang semakin mahal. Tapi siapa yang peduli? Kita terlalu sibuk menertawakan.
Antanas Mockus, walikota Bogota, membuat kebijakan sederhana tapi penuh makna: voucher transportasi gratis bagi pekerja miskin yang harus berjalan jauh ke tempat kerja.
Ia tidak menghakimi, tidak mencibir. Ia hanya berusaha memahami dan membantu.
Di Indonesia, hal seperti ini masih jarang. Pejabat dan tokoh sering kali lebih sibuk menjaga citra, membuat komentar bombastis, atau bercanda di media sosial. Padahal, kepemimpinan adalah tentang rasa tanggung jawab, bukan sekadar popularitas.
Kemiskinan itu nyata. Ia ada di sekeliling kita, di balik dinding-dinding mewah yang memisahkan hidup kita dari mereka yang berjuang.
Jika kita seorang pejabat, tokoh publik, atau siapa saja yang punya pengaruh, mari berhenti sejenak. Lihat, dengar, dan rasakan. Jangan sampai kata-kata kita menjadi luka yang sulit sembuh bagi mereka yang paling membutuhkan. Kita bisa belajar dari mereka yang hidup sederhana tapi penuh empati. Gandhi pernah berkata, “Kemiskinan adalah bentuk kekerasan paling kejam.” Maka, jangan tambahkan kekerasan itu dengan kata-kata kita. Mari jadikan diri kita bagian dari solusi, bukan masalah.
*Alumni Fakultas Teknik UGM dan anggota Dewan Pengawas KKA GAMA)
0 Comments