Perspektif: Mengimplementasikan Nilai-nilai Kristiani di Dunia Kerja

by | Sep 3, 2024 | Perspektif | 0 comments

(Oleh: Ir. Otniel Sintoro, M.M)

Di dunia Barat, semakin banyak perusahaan yang mengintegrasikan spiritualitas ke dalam marketplace (dunia kerja). Riset bisnis menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara spiritualitas seorang karyawan dengan komitmen organisasi, kepuasan kerja, employee engagement, turn over intention. Dan, yang terbaru, spiritualitas kerja punya korelasi kuat dengan change readiness atau kesiapan menghadapi perubahan, satu atribut yang penting dewasa ini di era disrupsi ketika perubahan terjadi dengan sangat cepat, drastis dan eksponensial. Salah satu contohnya, teknologi AI. Di masa lalu, yang belum terlalu lama juga, butuh satu sampai tiga tahun buat media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp,  Instagram, Tiktok, untuk meraih 100 juta pengguna pertamanya. Namun, sekarang, Chat GPT hanya butuh dua bulan. Cuma soal waktu SDM yang tidak menguasai AI untuk mengoptimalkan pekerjaannya akan segera digantikan oleh SDM yang menguasainya (bukan AI-nya yang menggantikan manusia, ya).

Sebagai alumni UGM, kemungkinan besar kini para alumni telah memegang posisi kepemimpinan di perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja. Maka, penting bagi seorang pemimpin untuk memahami corporate culture (budaya organisasi) pada level yang esensial, bukan cuma permukaannya saja., karena  budaya organisasi dan kepemimpinan itu bagaikan dua sisi mata uang. Nilai-nilai pribadi pemimpin akan menentukan nilai-nilai organisasi yang dipimpinnya. Dalam buku Organization Culture and Leadership, teori tiga level budaya organisasi dari Edgar H. Schein (2010) berikut ini bisa membantu untuk menjelaskan budaya organisasi Kristen itu dari perspektif perilaku organisasi. 

Ada tiga tingkat budaya organisasi. Dari level terendah sampai tertinggi: Artifacts, Espouse Values, Underlying Asumptions.  Seperti digambarkan dalam diagram ini.

1. Artifacts. Contohnya: struktur organisasi, tata letak ruangan, teknologi, SOP, proses,  ritual-ritual, seremoni, baju seragam, slogan-slogan.
2. Espoused values. Contohnya: visi misi, strategi, gol, filosofi, 
3. Underlying Assumptions. Contohnya: nilai-nilai, persepsi, pemikiran, perasaan, attitude

Level satu sifatnya visible dan paling mudah diidentifikasi. Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan Kristen. Setiap hari ada persekutuan doa, bahkan komsel. Di ruang rapat dipasang poster-poster besar bertuliskan ayat-ayat Alkitab dan lukisan “Yesus Gembala yang Baik”. Bahkan, di depan pintu masuk gedung kantor dipajang standing banner besar dengan foto pemimpin perusahaan sedang berdoa. Kayawannya 100% Kristen. Perusahaannya milik gereja. Produknya juga produk Kristen. Apakah dengan demikian perusahaan itu bisa dikatakan sebagai perusahaan Kristen? Tidak semudah itu, Fergusso.

Di perusahaan itu pula saya sebagai pimpinan divisi terganggu dengan seringnya anak buah ijin dengan alasan mau pelayanan di gereja. Salah satu yang saya ingat betul ada seorang desainer yang sering ijin dengan alasan pelayanan. Puncaknya, suatu hari dia minta ijin pulang kantor siang karena mau “pelayanan”. Tebak, apa pelayanannya? Pasang balon untuk sakramen nikah teman segerejanya! Jadi, menurut persepsinya, “pelayanan balon” itu jauh lebih penting dan mulia daripada jobdes dia di kantor, yang saat itu sedang puncak deadline?

Saya tidak hendak mengatakan bahwa ritual ibadah dan simbol-simbol kristiani di tempat kerja itu buruk. Namun, perlu dipahami bahwa itu baru menyentuh level artifacts. Tidak menyentuh level substansial yang invisible. Suatu organisasi tidak otomatis berubah menjadi organisasi Kristen hanya dengan memindahkan ritual ibadah gereja ke kantor saja. Dan, percuma saja citra pemimpin sholeh, tapi naik kariernya karena ahli dalam office politic. Seorang pemimpin Kristen harus masuk kepada implementasi level yang lebih substansial dari budaya organisasi, yaitu level espoused values dan underlying assumptions, berupa nilai-nilai kristiani yang diyakini dan diamalkan bersama. Dimulai dari pemimpin sebagai teladan. Kekristenan itu harus diimplementasikan dalam bentuk spiritualitas kerja, yang mendasari segenap corporate strategy (what business we are in), business strategy (how do we compete), dan operational strategy (how to achieve goals). 

Di tingkat individual misalnya, umat kristiani diperintahkan untuk menunjukkan organizational citizenship behaviors berlandaskan perintah Alkitab dalam Kitab Kolose 3:22-24: “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.”

Profesional Kristen jangan sampai terjebak dalam budaya ABS, misalnya. Cuma giat bekerja kalau dilihat atasan. Luwes sekali dalam “ketawa karier”, dan expert dalam skill carmuk, namun kompetensinya rendah. Sambil pada saat yang sama semena-mena terhadap bawahan. Bekerja dengan pamrih melulu cuma demi perutnya sendiri sambil mengabaikan etika. Seorang profesional Kristen akan do the best in everything we do, bukan cuma karena takut dimarahi atasan, dengan pamrih mendapatkan jabatan tinggi dan uang lebih banyak semata. 

Seorang profesional Kristen memiliki intrinsic achievement motivation. Seorang profesional Kristen adalah seorang high achiever. Yaitu punya hasrat terdalam untuk memberikan yang terbaik dalam apa pun yang kita kerjakan untuk menyenangkan hati Tuhan. Bekerja sebagai kesaksian kepada dunia bagaimana integritas seorang Kristen itu. Tanpa memandang rendah atau tingginya jabatan dan pekerjaannnya. Dengan demikian, kita mengerti tujuan hidup dan makna dalam bekerja, yang pada akhirnya akan menumbuhkan job satisfaction. And, a happy worker is a productive worker. Ini harus menjadi values dan underlying assumptions kita dalam bekerja.

Begitu pula, bagi seorang pemimpin dalam menjalankan roda organisasi, nilai-nilai kristiani akan melandasi setiap decision making dan problem solving hari demi hari. Etika, integritas, moralitas kristiani menjadi values dan underlying assumptions yang melandasi setiap langkah. Efeknya, bila karyawan merasa bahwa tujuan dan nilai-nilai organisasi dan pemimpinnya sejalan dengan nilai-nilai yang diyakininya maka mereka akan memilki komitmen afektif. Ia akan memiliki ikatan emosional yang kuat dengan organisasi dan dan sesama karyawan sebagai bagian dari suatu komunitas dan bersedia walk extra miles.

*Ir. Otniel Sintoro, M.M adalah alumni Fakultas Peternakan UGM angkatan 1987. Saat ini dia bekerja sebagai Information & Publication Officer UNESCAP (United Nations-Economic & Social Commission for Asia and the Pacific)

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ARTIKEL

Perspektif Lainnya

INNOVATION HOPE

INNOVATION HOPE

Masa Depan Kreativitas: Revolusi Regenerative AI Oleh: Sigit B. Darmawan, S.T.,M.B.A. (Alumni Fakultas Teknik UGM dan anggota Dewan Pengawas KKA GAMA) Kreativitas adalah jiwa dari inovasi. Tanpa kreativitas, dunia akan terjebak dalam stagnasi. Namun, apa jadinya jika...

PERSPEKTIF : KEPEMIMPINAN GEMBALA

PERSPEKTIF : KEPEMIMPINAN GEMBALA

(Oleh : Pdt. Sundoyo, S.Si., M.B.A.) Keyser (2017) menyatakan bahwa istilah ‘kepemimpinan gembala’ harus membawa kita kembali pada permulaan istilah ini. Keyser menyatakan : “Shepherd leadership goes back to the beginning of time – “The Lord is our shepherd.” A...

Turun Status seperti Yesus

Turun Status seperti Yesus

(Oleh: Yoseph Tria Nospindarta*) Tahun ini Tuhan mengijinkan saya dan anak saya mengalami penyakit cacar sebelum masa Paskah usai. Dimulai dari anak bungsu yang mengharuskannya tidak bersekolah selama 2 minggu, lalu diikuti anak pertama saya dengan penyakit yang sama....